MENGULAS KEBENARAN DARI ISI BUKU “THE NEGLECTED GENOCIDE HUMAN RIGHTS ABUSES AGAINST PAPUANS IN THE CENTRAL HIGHLANDS 1977–1978”

 
Cover Buku Terbitan AHRC

Baru-baru ini tepatnya pada hari Kamis tanggal 24 Oktober 2013 dunia Internasional khususnya Indonesia dikagetkan dengan munculnya sebuah buku yang diluncurkan oleh Asian Human Rights Commission Human Rights and Peace for Papua (ICP), buku ini berisi tentang laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Pegunungan Tengah Papua, Indonesia, selama tahun 1977–1978. Laporan ini membahas pelanggaran-pelanggaran atas Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida yang dilakukan pemerintah Indonesia pada periode tersebut dan ditujukan pada pengungkapan kebenaran. Laporan yang merupakan hasil penelitian selama tiga tahun oleh AHRC ini mengungkapkan kematian lebih dari 4,000 orang Papua, termasuk anak-anak, akibat operasi yang dilakukan oleh Tentara Indonesia.
            Direktur Kebijakan dan Pengembangan Program AHRC, Basil Fernando, menyatakan, "Publikasi laporan ini ditujukan untuk menciptakan kesadaran publik, khususnya di Indonesia, mengenai sejarah kekerasan di Papua". Salah satu rekomendasi yang diajukan di dalam laporan ini ialah pembentukan suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi lokal di Papua sebagaimana diamanatkan oleh UU Otonomi Khusus tahun 2001. Laporan ini juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mematuhi kewajiban HAM internasionalnya dengan mencabut pembatasan yang tidak masuk akal dan tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi guna mendorong terciptanya diskusi terbuka mengenai sejarah kekerasan di Papua dan dengan menjamin keselamatan setiap individu yang berbicara mengenai masalah ini. http://www.humanrights.asia/news/press-releases/AHRC-PRL-017-2013-ID . Sekarang yang menjadi pertanyaan besar apakah benar Laporan yang di sampaikan oleh AHRC dalam buku nya itu ?, Mari kita buktikan dengan fakta-fakta yang ada.

            Para aktivis Papua sering menggunakan hasil penelitian dari Jim Elmslie pada tahun 2010 yang menyatakan Orang Asli Papua di Propinsi Papua dan Papua Barat hingga tahun 2010 mencapai 3,612,85641
(http://majalahselangkah.com/old/papua-30-persen-pendatang-70-persen-mari-refleksi/) . Dengan dasar dari penelitian Jim Elmslie tersebut para aktivis menuding bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan genosida di Papua. Sekarang kita tinaju dari perhitungan BPS (Badan Pusat Statistik) Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk di Provinsi Papua 2,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah orang asli Papua di Prov. Papua sebanyak 2.159.318. Sementara non Papua hanya berjumlah 674.063 jiwa.
( http://sp2010.bps.go.id/index.php/site?id=94&wilayah=Papua ). Tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lainnya, seperti tingkat kematian bayi, sulitnya akses terhadap fasilitas kesehatan, perang antar-suku dll.
Seperti yang di utarakan oleh Aktivis Papua Forkorus Yaboisembut pada tabloid Jubi , Forkorus berdalih jika proses pemusnaan etinis Melanesia di Papua tidak terjadi,   maka populasi OAP (Orang Asli Papua) mestinya bertumbuh berkisar pada 6 juta jiwa. Pengurangan jumlah pendududk pribumi Papua menurut Forkorus, juga karena program pemerintah, seperti Program Keluarga Berencana dan program transmigrasi. Diperparah lagi dengan penyakit HIV/AIDS yang menggerogoti penduduk pribumi akan semakin kecil jumlah penduduk asli. (http://tabloidjubi.com/jayapura/11213-dap-bangsa-papua-diambang-genosida /Tabloid Jubi,3 April 2008).
Dengan melihat keterangan perbandingan di atas marilah kita bahas lebih mendetail lagi.
Pertama.
            Akibata dari konflik yang terjadi di Papua pada tahun 1970-an, terjadi Migrasi pengungsian OPA dari Papua menuju Papua New Guinea. Itulah sebabnya mengapa pertumbuhan penduduk PNG dua kali lipat lebih tinggi daripada penduduk Papua.
            Setelah situasi konflik di Papua mulai berangsur-angsur membaik dan terus kondusif hingga saat ini, arus repatriasi (kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya) penduduk asli Papua yang pernah mengungsi ke PNG di masa lalu tampak sangat signifikan. Ribuan orang repatrian telah kembali ke kampung asalnya di Papua. Mulai dari hanya 65 orang hingga 6 ribu orang. Pemerintah Indonesia bersama Pemda-Pemda di wilayah Papua sudah menyiapkan sejumlah tempat pemukiman kembali bagi para repatrian ini, antara lain di Kampung Kwimi, Yabanda, dan beberapa tempat lainnya.
            Proses repatriasi ini dimulai sejak tahun 2007, pada saat Gubernur Papua Barnabas Suebu sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia berkunjung ke Port Moresby untuk mengajak Warga Papua yang masih ada di pengusian untuk kembali ke kampung halamannya. Jika mereka mau kembali ke Papua maka akan di jamin hidupnya ujar Suebu. (http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=624 )
            Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Departemen Luar Negeri Teguh Wardoyo mengatakan, banyak WNI di Papua Niugini yang ingin kembali karena mereka tidak lagi memiliki tanah garapan sewaan di Papua Niugini. Tanah mereka dibeli para pengusaha dan mereka kehilangan tanah yang menghidupi mereka. Banyak pula di antara mereka yang merupakan pelarian politik, yaitu tokoh atau anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau orang-orang yang dikejar-kejar oleh anggota OPM karena tidak mau setuju dengan mereka.
Kedua.
            Menurut Pengakuan Agustina Sanggra, 43, yang tinggal di Yanggandur, 70 Km Timur Laut Merauke mengatakan bahwa norma-norma budaya “Masyarakat suku Mereka bagi Wanita apabila akan melahirkan harus meninggalkan rumah dan pergi ke hutan, disamping itu pihak laki-laki tidak boleh menyaksikan proses kelahiran sang Bayi” kata wanita itu kepada UCA News.
            Di wilayah Arfak misalnya, seorang ibu yang siap melahirkan akan pergi ke pondok dan berjuang sendiri untuk melahirkan. Dua minggu kemudian, dia akan muncul dengan bayinya atau tanpa bayi. Jika ia datang sendirian, itu berarti anaknya sudah meninggal dan sudah dikuburkan. Atau ketika lahir anak kembar, ibu itu harus menentukan untuk membunuh salah satu dan hanya membawa pulang salah satu dari mereka, karena ada keyakinan bahwa anak kembar adalah dua saudara yang akan tumbuh saling bermusuhan.
            Di Mamberamo, seorang Ibu yang akan melahirkan harus pergi ke sungai, berdiri di atas batuan padat dan memegang sebuah pohon di tepi sungai. Ketika darah mulai menetes buaya menunggu di bawahnya. Saat bayi muncul, sang ibu harus cepat merebut dan berbaring di pinggir sungai untuk memotong tali pusar. Dengan kebudayaan melahirkan seperti inilah yang mengakibatkan besarnya angka kematian bagi Ibu dan Bayi.
Ketiga.
            Angka kematian bayi di Papua hingga kini masih tergolong tinggi. Hal itu pernah diungkapkan Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Papua Marthen Sagrim, SKM, M.Kes. Menurutnya, data tahun 2008 menunjukan angka kematian bayi di Papua mencapai 22 persen. Prosentase ini didasarkan pada angka cakupan pelayanan kunjungan bidan kepada ibu yang melahirkan nifas pertama (bayi baru lahir) yang hanya 32 persen di tahun 2008.”Ini artinya bahwa sebagian besar ibu-ibu hamil kita yang melahirkan belum ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih,” jelasnya sebagaimana dikutip Cenderawasih Pos.
            Hal ini juga dibenarkan Kepala Dinas Kesehatan Papua, Bagus Sukasuara, dan Direktur Bina Kesehatan Ibu Departemen Kesehatan RI, Sri Hermiyanti Yunizarman, pada diskusi panel Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi, Jumat (21/11/2008) di Jayapura, Papua. Bagus mengatakan, angka kematian ibu melahirkan menurut data BPS Tahun 2006 di Papua sebanyak 396 per 100.000 kelahiran hidup dan kematian bayi sebanyak 52. Kondisi ini disebabkan antara lain kurangnya tenaga bidan atau tenaga kesehatan terlatih.
Keempat.
Cikal Bakal HIV/AIDS di Papua Berasal dari Warga Australia ???.
Interaksi sosial orang Marind di Merauke berawal dari masuknya pemburu asal Darwin, Australia. Mereka mencari dan berburu burung Cenderawasih. Mereka juga membawa sebuah pergaulan bebas. Dengan masuknya peradaban bebas pada 1913, beragam penyakit ganas juga mulai bermunculan. Penyakit ganas menyerang orang Marind hingga menimbulkan banyak kematian. Pada 1914, seorang dokter, Sitanala tiba di Merauke untuk mengobati masyarakat yang terkena penyakit aneh tersebut. Penyakit itu diketahui kemudian pada 1921 sebagai penyakit kelamin. Untuk mengatasi dampak yang lebih luas, diambil kebijakan agar warga Suku Marind yang sehat dipisahkan dari mereka yang menderita penyakit kelamin. Sebanyak 22 KK orang Marind yang sehat ditempatkan di Kampung Teladan yang dibangun pada 1917. Beberapa waktu kemudian, ditambah lagi sebanyak 80 KK. Sehingga totalnya menjadi 100 KK. Diperkirakan waktu itu sebanyak 40 % penyakit kelamin membunuh warga Marind. Sisa yang hidup hanya 60 % saja.
            Para aktivis Papua lupa memperhitungkan bahwa ada banyak faktor penyebab mengapa penduduk asli Papua dari tahun 1971 hingga tahun 2000 pertambahannya tidak sampai 50 persen, sedangkan di PNG bertambah lebih dari 100 peresen. Beberapa diantaranya adalah masalah akses terhadap fasilitas kesehatan, masalah budaya, perang antar-suku, emigrasi akibat konflik politik di masa lalu, dsb.
Seharusnya SBY sebagai Presiden Indonesia dan Kementrian Luar Negeri tidak hanya bungkam mengetahui Kemunculan Buku ini yang merupakan sebuah propoganda asing atas isu genosida di Papua. Terkait dengan laporan AHRC menyangkut isu genosida rakyat Papua, sampai sejauh ini belum ada tanggapan resmi dari pemerintah pusat.
            Dengan adanya Pengamatan dan statement yang berdasar dari sumber yang jelas ini, diharapkan Pembaca bisa membuka wawasan yang luas dan bisa menilai sendiri apakah isi buku yang di buat oleh AHRC tersebut benar atau tidak. Nantikan ulasan selanjutnya tentang KEBENARAN DARI ISI BUKU “THE NEGLECTED GENOCIDE HUMAN RIGHTS ABUSES AGAINST PAPUANS IN THE CENTRAL HIGHLANDS 1977–1978”

kata kunci : papua jayapura

0 komentar: